Wednesday, February 11, 2015

INDONESIA:::Manfaat Program BPJS Kesehatan Dirasakan Masyarakat

 Petugas membagikan kartu BPJS kesehatan kepada warga   di Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2, Cipayung, Jakarta Timur, Kamis (24/4). (Republika/Rakhmawaty La'lang)
Petugas membagikan kartu BPJS kesehatan kepada warga di Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2, Cipayung, Jakarta Timur

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra/Wartawan Republika
Sebut saja namanya Satria. Pria yang bekerja di kementerian yang berkantor di Jalan Merdeka Utara tersebut merasakan manfaat dengan menjadi anggota Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Lantaran tercatat sebagai pegawai negeri sipil (PNS), Satria sudah otomatis terdaftar sebagai anggota ketika BPJS Kesehatan masih bernama PT Asuransi Kesehatan (Askes).

Dia pada awalnya menganggap remeh keikutsertaannya dalam BPJS Kesehatan. Namun, ia baru menyadari betapa pentingnya kartu BPJS yang dimilikinya setelah menderita penyakit cukup serius. Setelah konsultasi ke dokter, ia diagnosis menderita penyakit syaraf terjepit.

Pada awalnya, ia kaget mendapat penjelasan dokter. Kekagetannya bukan semata disebabkan penyakit yang dideritanya, melainkan juga harus memikirkan biaya operasi yang jumlahnya tidak sedikit. Namun, ia segera sadar bahwa persoalan berobat itu sudah ada solusinya.

Satria langsung bertanya-tanya terkait pemanfaatan kartu BPJS yang dipegangnya. Seketika, ia mencoba menggunakan kartu sakti itu ketika memeriksakan diri ke dokter, hingga menjalani langkah medis lanjutan.


"Saya baru saja menjalani operasi saraf terjepit. Sejak awal periksa, dokter spesialis, foto rontgen, maupun pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging) semua biaya ditanggung BPJS. operasi pun ditanggung oleh BPJS, hanya kamar saja saya dikenakan share costkarena saya naik level untuk kamarnya," kata Satria dalam pengakuannya baru-baru ini melalui media sosial.

Terima kasih BPJSSatria mengaku, pada awalnya muncul rasa pesimistis akan mendapat layanan memuaskan dari klinik maupun rumah sakit rujukan yang menjadi mitra organisasi yang resmi berdiri pada 1 Januari 2014 tersebut. Hal itu juga ditambah dengan suara-suara sumbang yang didengarnya dari orang lain bahwa pengurusan berobat bagi pemegang kartu BPJS Kesehatan sangat ribet.
Ternyata, setelah membuktikan sendiri, Satria tidak mengalami apa yang dibicarakan orang lain. Menurut dia, prosedur pengurusan administrasi maupun layanan yang diterimanya berjalan dengan baik. Hal itu terjadi karena ia mencoba proaktif dengan banyak bertanyak kepada pihak terkait. Dengan tidak segan bertanya dan minta petunjuk, ia tidak ingin melangkah tanpa arahan jelas dari petugas BPJS Kesehatan.

Satria yakin, dengan memahami tata cara prosedural, kesalahan yang dilakukan lain yang mendapat layanan kurang maksimal, disebabkan minimnya informasi yang diterima tak akan dirasakannya. Dia berpatokan trik tersebut lantaran menyadari bahwa yang diurus bukan dirinya sendiri, melainkan masyarakat yang jumlahnya bejibun.

Belajar dari pengalaman orang lain itulah, ia akhirnya merasa dilancarkan ketika mengurus segala administrasi hingga biaya perawatan dikover secara maksimal. "Thanks BPJS! Pelayanan yang saya terima pun bisa dibilang sangat baik. Memang di awal saya rajin bertanya, dan selalu minta arahan petugas BPJS, jadi relatif tidak menemui kendala apapun," ungkap Satria.

Kisah Pak Slamet juga layak menjadi renungan bersama. Menurut dia, meski masih ada kekurangan, eksistensi BPJS Kesehatan harus diakui sangat membantu masyarakat, khususnya bagi kelas bawah. Bagi rakyat kecil, sambung dia, adanya organisasi yang memiliki hampir 130 juta peserta tersebut laiknya dewa penolong. 

Pasalnya, walaupun tidak semua obat dikover, tetapi untuk jenis penyakit tertentu yang jumlahnya lumayan banyak sudah bisa didapatkan dengan gratis. Alhasil, mereka yang memiliki kartu BPJS tidak perlu lagi mengeluarkan duit sepeser pun. "Buat kami kartu BPJS sudah sangat membantu," ujar Slamet.

Kendati begitu, Slamet melontarkan kritikan positif yang layak didengar jajaran direksi. Berdasarkan pengalamannya, untuk pembuatan kartu BPJS, seseorang akan terpaksa mengalami antreannya panjang. Misalnya, kalau berangkat setelah sholat Subuh tepatnya pukul 05:00 WIB, pulangnya bisa pukul 14.00 WIB. 

Pria yang berprofesi sebagai staf pengajar itu mengkritik, mengapa masih banyak calo berkeliaran yang menawarkan jasa hingga membuat para calon anggota BPJS tidak nyaman ketika antre. Slamet menyarankan, agar sebaiknya proses pendaftaran dibuat murni secara online.
Sehingga, pemandangan antrean masyarakat yang berduyun-duyun mengular di depan loket kantor BPJS tidak terlihat, yang hal itu otomatis pastinya menghilangkan calo.

"Sistim online yang ada sekarang sebenarnya sangat membantu, tapi siap tidak operator BPJS melayani masyarakat untuk pembuatan kartu perdananya, dan jumlah rumah sakitnya ditambah? Sekarang ambil nomor antrean rumah sakit juga berangkat jam lima Subuh, dan baru dilayani bisa jam 11 siang. Kemudian diperiksa dokter, dan baru bisa pulang jam dua atau tiga sore."

Kepala Grup Komunikasi dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan, Ikhsan menyatakan, implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terbukti telah menekan biaya kesehatan yang harus ditanggung masyarakat. Kalau sebelumnya, masyarakat harus mengeluarkan dana cukup besar ketika berobat ke klinik atau rumah sakit yang menjadi mitra pemerintah, sekarang tarifnya sangat terjangkau.

Hal itu terjadi disebabkan pihak rumah sakit yang melakukan pola rasionalisasi dalam memberikan layanan hingga semakin efisien dalam menjalankan sistem rawat medis kepada pasien. “Kami paham rumah sakit itu komersial untuk bisnis. Tapi, sekarang tidak hanya bicara bisnis, ini ada misi sosial dalam melayani masyarakat,” kata Ikhsan kepadaRepublika belum lama ini.

Ikhsan menyadari, tidak semua rumah sakit swasta mau menerima BPJS Kesehatan. Namun, ia memprediksi nantinya banyak rumah sakit yang akan berbondong-bondong menjadi mitra perusahaannya. Pasalnya, meski secara kapital nominal tanggungan setiap pasien kecil. Namun, secara keseluruhan pasar terbesar rumah sakit adalah para peserta BPJS Kesehatan.

“Rumah sakit harus mengubah mindset. Terbukti, sudah ada rumah sakit yang meraih untung. Jangan malah rumah sakit berkompetisi membuat tarif semakin mahal, yang memberatkan pasien.”

Terkait persoalan pendaftaran, ia tidak memungkiri kadang ada masalah jaringan. Dia meminta masalah itu menjadi koreksi bersama lantaran peminat peserta BPJS Kesehatan membludak. Alhasil, banyak masyarakat yang akhirnya memilih mendaftar dengan cara antre di kantor cabang BPJS. Hal itu diakuinya menjadi pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan. 

Misi muliaDirektur Hukum, Komunikasi, dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan Purnawarman Basundoro mengatakan, program yang diusung lembaganya membawa misi mulia. Pasalnya, peserta BPJS Kesehatan akan mendapat manfaat luar biasa. Hal itu ditandai dengan hanya membayar iuran ringan, mereka yang kebanyakan kelas bawah bisa mendapat berbagai fasilitas layanan medis.

Dia menjelaskan, program ini terbagi menjadi tiga kelas. Peserta yang ingin mendapat layanan di rumah sakit kelas III hanya membayar iuran cukup 19.225 per bulan. Untuk rumah sakit kelas II sebesar Rp 42.500 per bulan, dan rumah sakit kelas I sebanyak Rp 59.500 per bulan. Pendaftaran dan pembayaran bisa melalui tiga bank yang ditunjuk, yakni Bank Mandiri, BRI, dan BNI.

“Manfaat medis yang didapat tidak terikat dengan besaran iuran yang dibayarkan. Semua peserta akan ditanggung ketika dirawat,” kata Purnawarman.

Menurut dia, transformasi perusahaannya menjadi BPJS Kesehatan memang diikuti perubahan pola pembayaran ke rumah sakit. Sekarang, diterapkan pola paket sesuai diagnosis. Setiap rumah sakit, khususnya dokter diajak untuk bekerja secara efisien, dengan memberi obat berkualitas bagus dengan konsekuensi, konsumen tidak perlu membayar mahal. 

Sayangnya, belum semua rumah sakit memahami untuk melakukan itu. Sehingga, ada kesan rumah sakit swasta tertentu yang menganggap program BPJS Kesehatan sebagai program tarif rendahan. Dampaknya, seolah pembayaran klaim kesehatan yang disediakan tidak mencukupi untuk mengkover perawatan pasien. 

Purnawarman mengatakan, munculnya stereotip itu tidak sepenuhnya benar. Pasalnya, rumah sakit masih bisa tetap untung dengan menangani peserta BPJS Kesehatan. “Kita yang sudah terbiasa dengan sistem lama menjadi syok. Tantangan berat adalah menyadarkan dokter untuk efisiensi dalam memberi obat.”

Dia merujuk pada RS Annisa Tangerang dan RS Al Islam Bandung yang sudah mencatatkan keuntungan pembukuan sebesar Rp 7 miliar sejak mengikuti program ini. Setelah dievaluasi, kata dia, dua rumah sakit tersebut sukses dalam melakukan persiapan dan rasionalisasi dalam menyambut program BPJS Kesehatan. 

“Mereka juga menunjukkan komitmen dalam penggunaan peralatan medis dan rujukan penggunaan obat-obatan Dari situ, dua rumah sakit itu bisa meraih untung dengan menjadi mitra kami,” kata Purnawarman. 

Meski begitu, ia melanjutkan, kajian lembaganya memang ada rencana untuk menaikkan iuran bulanan agar semakin banyak rumah sakit yang tertarik menjadi mitra BPJS Kesehatan. Dengan begitu, cerita tentang menumpuknya pasien yang tidak tertangani dengan baik sedikit demi sedikit akan berganti dengan pelayanan optimal.

No comments:

Post a Comment